Friday, February 08, 2008

PERBURUAN SENJA DI SANFRANSISCO


Setelah membaca buku Pengantar Ilmu Komunikasi yang di tulis Prof. Dedi Mulyan, dan didalam buku itu bapak menyatakan "karya yang paling unik dan istimewa bagi saya adalah SENJA DI SANFRANSISCO -SDF", saya penasaran dan tergelitik untuk segera mencari buku tersebut.

Namun malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih, buku SDF sudah jarang beredar. Awalnya saya mencari di TB G cabang Merdeka Bandung namun kosong. Saya berniat mencari dicabang lain. Tapi sebelum berbalik saya sempatkan bertanya dulu kira-kira TB G cabang mana yang masih memiliki stok, pada Mbak Eka di pusat informasi TB G

Menurut perempuan cantik dengan cepol dirambutnya, “Di semua TB G Bandung kosong, Mbak, mohon maaf karena terakhir kali penerbitnya menitipkan pada kami tahun 2004 Mbak."

“Harganya berapa Mbak?” Tanya saya lagi.

“Enam belas ribu”

“Baik, terimaksih Mbak”, sahut saya kemudian berlalu. Semakin penasaran saja saya dengan buku itu seperti apa rupanya, moso’ di toko sebesar ini tidak ada.

Bursa Buku Palasari

Tidak putus asa saya coba mencari di Bursa Buku Palasari Bandung,esok harinya. Pagi-pagi saya sudah nongkrong disana pukul 8 pagi belum ada pemilik kios yang berniat untuk membuka kios buku bahkan muncul saja, belum.

Rupanya bukan saya sendirian yang datang kepagian, seorang penjual jamu gendong bernasib sama dengan saya menikmati kelengangan dengan aroma pagi yang khas dan udara sejuk pagi yang segar. Untuk menghangatkan badan tidak ada salahnya saya pesan segelas jamu. Rupanya benar jamu dengan wedang jahe itu membuat darah kembali hangat.

“Cari buku ya Mbak” Tanya penjual jamu itu. Saya jadi teringat perkuliahan Multicultural Culture Prof. Deddy yang bilang kalau orang Indonesia itu senang berbasa-basi agar terlihat ramah. Saya jadi senyum sendiri.

Berhubung saya pun orang Indonesia pun ingin terlihat ramah. Saya jawab “Iya Mbak, belum pada buka ya, sepertinya kita datang kepagian” sahut saya.

“Iya” sahutnya Huahahahahaha…….. betuk-betul basa-basi yang kelewat ramah. Tapi saya menikmatinya toh tidak mungkin juga saya curhat padanya tentang buku SDF yang saya buru atau Eleven Minutes – Paulo Coelho yang cepat sekali habisnya dipasaran.

“Hmmmm… enak sekali jamunya Mbak” sahut saya sambil menyerahkan gelas yang sudah kosong padanya. Namun kali ini dia tidak menganggap basa-basi, dengan penuh semangat dia menawarkan jamunya lagi “Tambah ya Mbak….” Untuk kedua kalinya saya tersenyum dalam hati (giliran jualan aja gak ada basa-basi).

“Cukup Mbak” sambil memberikan uang dan bertransaksi kamipun berpisah dengan berlawanan arah. Ada satu kios mulai membuka kios. Dilihat dari wajahnya dan nama kiosnya (Densiko),tampak bahwa sang pemilik kios adalah orang dari suku Padang. Saya menghampirinya mencoba mencari-cari siapa tahu terselip sebuah buku berjudul DSF.

Melihat saya, lelaki itu menyapa saya “Cari buku apa Teh?” dengan logat padang. Kali ini saya kembali menemukan perbedaan dalam Multicultural Culture. Jika saya ingat – ingat penjual jamu tadi, yang saya taksir berasal dari jawa. Menyapa saya dengan panggilan “Mbak” dan yang ini pemuda Sumatra Barat memanggil saya “Teh”. Apakah boleh kalau saya menyimpulkan orang Padang lebih menyesuaikan diri ketika Ia berada di negeri orang dan Wong Jowo lebih mempertahankan tradisinya? Entahlah, mungkin saat perkuliahan saya akan menanyakannya pada Prof. Deddy.

“Cari buku DSF, ado Da?” Tanya saya.
Dia tampak lebih antusias, “Urang awak, Ma?” segera saja Ia mengganti logat dan bahasanya.
Saya hanya tersenyum, dan bersyukur telah mendapatkan perkuliahan MKDU Bahasa Minang di Fakultas Sastra dulu, secara hampir separuh pedagang di Indonesia ini adalah orang minang. Kalau bisa menawar dengan Bahasa Minang, tentu dengan mudah kita mendapatkan harga murah.

Kali ini saya jadi teringat teori komunikasi Process View yang dikemukakan oleh Steve Duck (1985) menganggap bahwa kualitas dan sifat hubungan dapat diperkirakan hanya dengan mengetahui atribut masing-masing sebagai individu dan kombinasi antara atribut-atribut tadi.
Meskipun mengetahui atribut-atribut tersebut hanyalah salah satu aspek yang memengaruhi hubungan. Untuk mengenali tahap (kualitas) hubungan yang terjadi kita dapat melihatnya dari bagaimana masing-masing menanggapi mereka.

“Buku nan lain?” tanyanya lagi.
“Indak Da Terima Kasih Da” Saya menggeleng dan permisi, karena bingung kalo nanti Si Uda bertanya lagi saya harus menjawab apa, kembali ke teori Duck (Meskipun mengetahui atribut-atribut tersebut hanyalah salah satu aspek yang memengaruhi hubungan. Untuk mengenali tahap (kualitas) hubungan yang terjadi kita dapat melihatnya dari bagaimana masing-masing menanggapi mereka. Baca : Si Uda J)

Hari menunjukkan pukul setengah sembilan, beberapa toko mulai bersih-bersih. Saya menunggu kios AMPERA buka. kios Pak Sasmita. Hemat saya disana paling komplit tapi ketika saya lihat jam pukul sembilan masih saja beliau belum membuka kiosnya.

Saya jadi ingat lelaki yang hampir menginjak setengah abad itu pernah bilang, sewaktu saya masih kuliah S1 dan katanya: “Sebelum buka kios, biasanya saya sama isteri aerobik dulu Neng” mungkinkah saat ini pak Sasmita aerobik dulu. Akhirnya saya putuskan untuk mencari ditempat lain.

TB TGM

Usaha terakhir saya mencari di TB TGM, ketemu tapi tinggal satu saja dengan kondisi yang sangat lecek. "Ini ada Mbak", tinggal satu kata penjaga toko buku. Syukurlah masih rejeki saya dengan semangat saya menuju kasir. Tiba dikasir, penjaga kasir bilang " harganya gak segini Mbak, dikomputer lain soalnya" pikir saya loh kok bisa bukannya sudah jelas tertera dilabelnya Rp 22.500 plus diskon 15 % jadi Rp. 19.125.
Harganya dua puluh lima ribuan, katanya lagi mungkin karena komunikasi visual saya ingin sekali buku itu jadilah buku itu dinaikkan. Awalnya saya protes, karena buku itu sudah kotor, layaknya buku bekas tapi akhirnya saya setujui saja untuk mengakhiri perburuan buku kali ini.

No comments: