Saturday, February 23, 2008

Film Ayat-Ayat Cinta diruang kelas


hari kemarin dosen Mata Kuliah PR Writing berhalangan

untuk mengejar dikelas lama-lama
jadilah kami diberikan tugas pengganti UAS.

Aku kebagian tema CyberPR Writing.
Aku teriak kegirangan dapet tema ini,

biarlah kegembiraan ini dilanjutkan lagi dikamar bersama
Si Accer dirumah

Waktu yang masih lowong dipergunakan untuk menonton film

bersama anak-anak dari laptop Dian

dipantulkan OHP, ke Whiteboard

Heh hehe kelas kami sudah seperti bioskop saja.

Tutup pintu, tutup jendela, dan matikan lampu.

Kata cleaning service "Emang anak-anak PR mah, pang canggihna lah" sambil mengambil gelas kosong

milik dosen yang tadi mengajar, tak lupa matanya juga mencuri-curi gambar yang terpantul di whiteboard


Mungkin kamilah
yang menonton film ayat-ayat cinta itu pertama kalinya selain kru film dan para pemainnya.
Entah dari mana Ve' dapet film itu katanya sih itu kecanggihan adiknya yang jago "ngehack" secara

film itu baru premire malemnya midnight.


So dari awal kita nonton sambil menyantap sepiring nasi timbel dimeja masing-masing

meski filmnya tidak seindah bukunya, tapi soundtracknya bolehlah....

Menonton filmnya seperti terburu-buru tidak satu persatu teresapi layaknya

dialog-dialog intim yang ditulis kang Abik


What ever, yang jelas jadi gak penasaran, ini teks OST AAC, yang dinyanyiin ROSA:


Desir pasir di padang tandus

Segersang pemikiran hati

Terkisah ku di antara cinta yang ruhwi

Bila keyakinanku datang

Kasih bukan sekadar cinta

Pengorbanan cinta yang agung kupertaruhkan

Maafkan bila ku tak sempurna

Cinta ini tak mungkin ku cegah

Ayat-ayat cinta bercerita

Cintaku padamu


Bila bahagia mulai menyentuh

Seakan ku bisa hidup lebih lama

Namun harus kutinggalkan cinta

Ketika ku bersujud


Bila keyakinanku datang

Kasih bukan sekedar cinta

Pengorbanan cinta yang agung

Kupertaruhkan

Maafkan bila ku tak sempurna
Cinta ini tak mungkin ku cegah

Ayat-ayat cinta bercerita

Cintaku padamu

Bila bahagia mulai menyentuh

Seakan ku bisa hidup lebih lama

Namun harus kutinggalkan cinta

Ketika ku bersujud


NB: satu pelajaran dari film ini yang ada korelasinya dengan matakuliah Multikultural PR. budaya di arab, laki laki dengan laki-laki kalo ketemu saling mecium pipi. hihihi jadi teringat seorang yang kalo ketemu saling mencium pipi :)


Satu lagi kalo udah nonton kasi tau aku ya guyss

Friday, February 22, 2008

North Country Part Two


Ini Sinopsis yang lebih enak dibaca dibandingkan fotokopian bahan kuliah Hubungan Industrial

manfaat yang didapat sepertinya sama :)


Resensi Film North Country: Film tentang Hukum dengan Pendekatan Emosional

Film tentang gugatan class action pertama kasus pelecehan seksual di Amerika Serikat. Bercerita tentang kerasnya perjuangan buruh tambang perempuan pada akhir era 1980-an. Dibintangi beberapa nama besar –dengan pendekatan emosional.

Judul : North Country

Produksi : Warner Bros Pictures dan Participant Productions

Distributor : Warner Bros Pictures, 2005

Produser : Nick Wechsler

Sutradara : Niki Caro

Skenario : Michael Seitzman

Durasi : 120 menit

Pemain : Charlize Theron, Richard Jenkins, Sean Bean, Frances McDormand, Woody Harrelson, Sissy Spacek, Jeremy Renner, Michelle Monaghan, Linda Emond, Elle Peterson, Thomas Curtis


Anda tentu tak asing dengan nama Chalize Theron. Dialah penyabet aktris terbaik Academy Award 2004 (dalam film Monster). Aktris berdarah Afrika Selatan ini sedang tidak beraksi jumpalitan baku tembak dan baku hantam seperti di filmnya Aeon Flux. Lupakan sejenak film genre female action heroes itu –semisal Tomb Raider (Angelina Jolie), Ultraviolet dan Resident Evil (Milla Jovovich), Underworld (Kate Beckinsale), atau Cat Woman (Halle Berry).

Kali ini Charlize bertarung di atas meja hijau –berperan sebagai Josey Aimes. Charlize didukung oleh sederet artis yang mumpuni. Sebutlah nama kawakan aktor Richard Jenkins (Hank Aimes, ayah Josey) dan aktris Sissy Spacek (Alice Aimes, ibu Josey). Jangan lupakan pula Sean Bean (Kyle), aktor yang sukses dalam film Silent Hill –film yang diilhami dari gim RPG horor terlaris yang dikembangkan konsol Playstation. Bean juga nongol sebagai Boromir dalam trilogi The Lord of The Rings. Ada pula polah nakal Thomas Curtis (Sammy Aimes, anak sulung Josey) dan tingkah menggemaskan aktris cilik Elle Peterson (Karen Aimes, anak bungsu Josey).

Karena perannya yang menggigit inilah Charlize kembali meramaikan nominasi aktris terbaik Academy Award 2005 lewat film ini. Sutradara Niki Caro pun pernah sukses menggondol berbagai penghargaan lewat film The Whale Rider (2002). Tak kurang dari AS$35 juta dana digelontorkan untuk membuat film ini.

Adalah Josey, orang tua tunggal dengan dua anak –Sammy dan Karen. Josey menyusul ayahnya bekerja sebagai buruh perusahaan tambang logam Pearson Taconite and Steel, Inc. di daerah Minnesota Utara. Di sana dia bertemu dengan beberapa buruh perempuan. Teman terdekatnya adalah Glory Dogde (Frances McDormand).

Jumlah buruh perempuan begitu sedikit dibanding jumlah tenaga pria –dengan total pekerja 300 orang. Tak jarang mereka mengalami pelecehan seksual baik verbal maupun fisik. Coretan tulisan nan menusuk perasaan di tempat kerja maupun di ruang ganti pakaian adalah makanan setiap hari. Sempat Josey dan kawan-kawan menemukan alat bantu seks di dalam kotak makan siang. Pernah pula teman kerja pria Glory merogoh saku baju di bagian dadanya dengan alasan meminta rokok. Yang paling parah, teman Josey lainnya, Sherry (Michelle Monaghan), menemukan pakaiannya terkena bercak sperma ketika dia membuka loker. Buruh pria yang getol melecehkan mereka adalah Bobby Sharp (Jeremy Renner) –yang justru adalah kekasih Josey sewaktu sekolah.

Selain pelecehan, buruh perempuan tak memperoleh fasilitas semacam tunjangan kesehatan. Padahal beban kerja mereka sama beratnya dengan buruh pria. Karena bekerja terlalu keras, Glory terserang penyakit Lou Gehrig –yang menggerogoti satu per satu organ tubuh hingga lumpuh. Akibatnya, Glory dipecat dan tak dibela oleh serikat pekerja. Untunglah dia memiliki Kyle, suami yang sabar.

Habis sudah kesabaran Josey mengalami ketidakadilan. Meluncurlah dia ke kantor pusat menemui Don Pearson, si pemilik perusahaan. Namun Pearson justru hendak memecatnya jika Josey sudah tidak kerasan bekerja.

Josey pun berniat menggalang dukungan kawan-kawan perempuannya. Namun mereka takut mengungkapkan suaranya. Bahkan, Glory pun sulit memberikan dukungannya –meski dipecat secara tak adil.

Selanjutnya Josey menyewa pengacara Bill White (Woody Harrelson), sahabat karib Kyle. Bulat sudah tekad Josey memperkarakan kasus ini melalui gugatan class action. Dari hari ke hari keduanya makin akrab. Apalagi, Bill adalah bekas pelatih hockey, olahraga favorit Sammy.

Josey dan Bill mencoba jalur serikat pekerja. Maklum, class action baru bisa dikabulkan jika pihak penggugat setidaknya terdiri dari tiga orang. Bukannya dukungan, justru cemoohan yang mereka dapat. Di bawah pengaruh Bobby, serikat pekerja enggan memberikan dukungan. Bobby menebar provokasi, jika gugatan class action dimenangkan, perusahaan ini akan tutup dan para pekerja akan menganggur.

Tak beroleh dukungan, Josey dan Bill tetap maju ke meja hijau melawan Pearson yang menyewa pengacara perempuan Leslie Conlin (Linda Emond). Uniknya, dalam sebuah percakapan internal, Leslie justru menyarankan Pearson memenuhi tuntutan buruh perempuan. “Langkah Anda akan menjadi kebijakan awal yang akan diikuti oleh perusahaan tambang manapun,” ujarnya.

Sayang, Pearson juga bersikukuh. Dia berujar tak perlu menuruti keinginan buruh perempuan itu karena buruh tambang sebenarnya adalah pekerjaan laki-laki. Sejak awal mereka harus sadar betapa beratnya bekerja di pertambangan. Secara mengejutkan, Leslie pun membalik jawaban itu, “Demikian halnya dengan pekerjaan pengacara (yang masih didominasi pria).”

Pendekatan Emosional

Sayangnya, Anda bakal sedikit kecewa lantaran film ini minim menyuguhkan pertarungan argumentatif kedua belah kubu pengacara. Film ini bukanlah serial Ally McBeal, film A Few Good Men, atau sejenisnya –yang sarat argumen hukum serta pertanyaan dan pernyataan kejam si kuasa hukum. Baik Bill (kubu Josey) maupun Leslie (pihak Pearson) tak mengumbar pasal-pasal kitab hukum pidana. Justru Bill cenderung agitatif ketika mengajak teman-teman Josey lainnya dalam mendukung class action ini –di ruang sidang.

Keringnya pendekatan argmentatif ini mungkin ada benarnya. Nampaknya Niki hendak membingkai film ini dengan pendekatan emosional. Justru jurus inilah yang telak menembak benak pemirsa. Titik perhatian nan paling menarik justru bukan di meja hijau. Melainkan, peran Josey sebagai orang tua tunggal. Hal ini nampak jelas pada adegan-adegan pertengkaran Josey dengan Sammy disusul dialog penuh air mata di antara kedua ibu-anak ini. Pernah suatu ketika Josey pulang terlalu larut. Ditemukannya Sammy mabuk menenggak minuman keras di dalam kamar mandi.

Josey selalu berusaha menyenangkan kedua anaknya. Hal ini terlihat dengan usaha menraktir Sammy dan Karen ke restoran maupun memberi kado seperangkat alat hockey buat Sammy dan trampolin bagi Karen. Karena itulah, dia memutuskan banting tulang menjadi buruh tambang. Keputusan Josey sempat ditentang ayahnya dan bahkan membuat Sammy benci padanya.

“Saya hanya ingin seperti orang lain. Bekerja dan mendapat upah mingguan, serta menghidupi kedua anak saya,” tuturnya dalam sebuah orasi pada forum serikat pekerja tambang logam.

Di bagian akhir, Sammy begitu riang gembira diajari Josey menyetir mobil di sepanjang perjalanan pulang setelah berlatih hockey. Maklum, usia Sammy semakin bertambah sehingga dia ngebet bisa mengemudi. Hubungan antara ibu dan anak makin erat, sebagai ending manis film ini.

Lawan main Charlize, Frances pun mengakui, “Film ini begitu emosional tanpa menjadi sentimental.” Memang benar. Anda tak akan menemukan Josey dan Bill bakal jadian. Josey tetaplah orang tua tunggal yang tangguh di mata kedua anaknya.

Dari Kisah Nyata

Film besutan sutradara perempuan Niki Caro ini hanya fiktif belaka. Namun kehadiran film ini dibaluri kisah nyata yang tertuang dalam buku “Class Action: The Landmark Case that Changed Sexual Harassment Law” karya Clara Bingham dan Laura Leedy Gansler. Buku ini menceritakan gugatan class action pertama di Amerika Serikat –bahkan di dunia– untuk kasus pelecehan seksual pada 1989.

Kisah ini terajut dari peristiwa yang dialami oleh para buruh tambang logam perempuan di Negara Bagian (state) Minnesota bagian utara. Sejak 1975 perusahaan pertambangan logam di Minnesota Utara telah mempekerjakan buruh perempuan untuk pertama kalinya. Namun, hingga 1989, jumlah pekerja pria masih mendominasi –dengan perbandingan angka 30:1.

Kondisi yang tak berimbang tersebut membuat pekerja perempuan rentan mengalami perlakuan tak adil di lingkungan kerjanya. Lois Jenson adalah salah satu buruh tambang logam yang mengalami pelecehan seksual selama 9 tahun. Bersama sejumlah buruh perempuan lainnya, Lois mengajukan gugatan class action lawsuit. Akhirnya, kaum buruh perempuan yang bekerja di padang tambang besi (iron range) Mesabi memenangi sejumlah kompensasi finansial yang layak.

Sejak itu, kemenangan kaum buruh ini diadopsi dalam penyusunan Undang-Undang Pelecehan Seksual (Sexual Harassment Law) di Amerika Serikat –dan gaungnya bergema ke penjuru dunia. Untuk lebih jauh menelusurinya, silakan mengunduh laman www.participate.net/standup.

“Kaum buruh perempuan begitu rentan menerima pelecehan seksual baik secara fisik maupun pikiran. Parahnya, banyak teman kerja yang melihat namun tak bisa bahkan tak ingin membantu mereka,” tutur sutradara Niki.

Melihat latar belakang fakta tersebut, Charlize begitu antusias. “Para narasumber begitu baik hati menceritakan pengalamannya. Sepanjang karir film saya, saya sangat mendambakan peran istimewa ini,” ungkapnya bangga.

Lawan mainnya, Woody, berujar setali tiga uang. “Ini film yang penting. Film yang berkisah tentang little people against the machine,” tuturnya serius.

Film ini begitu pas dinikmati pada waktu senggang sembari mengusir penat –misal di akhir pekan, ataupun malam hari sepulang kerja. Selain pecinta film, para pegiat serikat pekerja, aktivis gender, maupun pekerja di bidang hukum sangat dianjurkan mendaras film yang satu ini. Latar pembuatan film ini pun asli di kota-kota Negara Bagian Minnesota: Eleveth, Virginia, Chrisholm, Hibbing, dan Minneapolis. Apalagi, Anda bakal dimanja oleh lantunan suara Bob Dylan yang mengisi soundtrack-nya. Well, silakan menonton.

North Coutry part one


Sebetulnya awalnya tidak tertarik nonton film ini.

Namun berhubung mata kuliah Hubungan Industrial yang membahas soal perburuhan

dan tidak asyik karena isinya hanya perdebatan tentang UUD no 13 tentang ketenagakerjaan

jadi lebih baik nonton aja filmnya dan bandingkan dengan realita di Indonesia.

Thursday, February 21, 2008

Nyatanya Aku Kangen (kali ini aku, bukan saya)


Menjauh dari peradaban (mengurung diri dari perederan teman2)

membuatku kangen dengan kehebohan. Keceriaan, disetiap kesibukan kantor aku kangeeen

dan ingin mendapatkan kembali orang-orang yang asyik bekerja sama.


Dulu aku pernah sangat jenuh dengan segunung pekerjaan

pekerjaan satu belum beres datanglah pekerjaan lain. Tak jarang membuatku stres sendiri

Namun saat waktu luang menyergapku aku kebingungan sendiri

"Waktu adalah uang, tapi waktu yang terlalu luang adalah bentuk lain dari kemiskinan. Dan

orang miskin dapat berontak tanpa takut kehilangan apa-apa" (Dewi Lestari - cuplikan novel

petir).


Saat ini aku rasa cukup meluangkan waktu, dan kesempatan menjemputku untuk

kembali sibuk seperti dahulu. Namun, aku kembali ragu. Dua kesempatan menjemoutku

bersamaan.


Aku ingin kembali bekerja pada sebuah rutinitas. Sebuah media nasional menawariku

menjadi jurnalis tentang gaya hidup, hampir bisa dipastikan aku akan tenggelam tanpa

ada waktu luang.


Aku ingin santai. Sebuah tepatnya seorang psikolog mengajakku untuk bergabung

membantunya di klinik. waktu yang ditawarkan tidak rutin artinya aku masih punya

waktu untuk diriku sendiri. Namun inipun tidak membuatku tenang, aku harus menunggu

jadwal beliau padat, baru Ia mendelegasikan pekerjaannya padaku


Hmmmmm, aku hanya menghela Nyatanya Aku Kangen (Kali ini Aku bukan Saya)







MEMBUAT BUKU

rencana ingin menuliskan METROXYLON SP belum lagi terwujud.
entah kenapa, mungkin satu diantara alasannya adalah belum menentukan
ending yang tepat. Agak takut juga mengarang-ngarangnya.

tapi apa yang dituliskan mungkin aja jadi kenyataan seperti apa yang ditulis Ninit Yunita
sometimes i felt like we were trapped inside sitcom world...
novel & kenyataan who knows....

Saat ini saya jadi sedikit bersemangat karena sebentar lagi saya akan punya buku. Buku apa
tunggulah waktunya tiba. Meski buku itu mendapat cercaan dari beberapa pembaca, namun
syukurnya penerbitnya masih mau menerbitkan buku itu.

Terima Kasih Medpress, semoga ini jadi awal yang baik

MAIA DAN DIAN

He he he Maia dan dian ngeblog juga

Wednesday, February 20, 2008

sakit perut....

Sakit perut buatku adalah pertanda
pertama : jawaban mengapa tiba-tiba jadi sangat sensi dan sangat ingin marah2
kedua : alasan mengapa marah2
ketiga : aku belum lagi menjadi ibu-ibu

Kemarin sebelum sakit perut ini tiba, mendadak ingin es durian sakinah pas sampe sana, es duriannya
tidak seenak yang diceritain Kang Army. Huuuuuuuh nyesel deh kesana "A mau Mie Ayam aja Neng"
kata suamiku yang konon dulu dengan mantannya pernah makan disitu.

Membayangkan dia dengan mantannya kok aku jadi sensi ya

Hmmmmm, dasar wanita

Monday, February 11, 2008

Emotional Touch Pada Anak Membantuku



Akhirnya keputusan itu bulat!

Setelah menimbang-nimbang, menghitung untung dan ruginya.

Bulat sudah keputusan saya untuk tetap stay di Bandung saja.

Meninggalkan Bandung untuk ikut suami tercinta cukup memberikan pelajaran betapa

Bandung adalah kota ternikmat untuk bermukim.


Alhamdulillah, apa yang menjadi cita-cita saya terkabul.

Kemarin seorang Psikolog ternama dikota ini menghubungi saya untuk bergabung bersamanya

memberikan terapi untuk anak berkebutuhan khusus.


Menurutnya ada beberapa kandidat yang dia perhitungkan dan salah satunya saya.

Menurut dua orang psikolog lainnya, saya mempunyai sense of touch dengan anak meskipun saya belum memiliki

anak.


Emotional Touch


Torsten Nils Wiesel dan David Hunter Hubel, peraih hadiah nobel untuk psikologi medis, membuktikannya. Kedua ilmuan ini melakukan percobaan pada hewan, kucing dan kera. Terdapat masa kritis perkembangan otak pada kedua hewan tersebut yang lamanya beberapa bulan sejak dilahirkan, otak menerima sinyal-sinyal yang dikirimkan oleh indranya. Selama masa kritis ini, salah satu mata ditutup sehingga jumlah sinyal yang dikirimkan ke otak berkurang, sedangkan sinyal dari mata yang terbuka tidak mengalami perubahan.


Setelah masa kritis berakhir, penutup mata di buka kembali. Apa yang terjadi ? Mata yang ditutup mengalami kebutaan secara fungsional, tidak ada cacat pada mata itu, hanya sambungan saraf ke otak yang mengalami penyusutan sehingga terlalu sedikit sinyal yang diterima otak.


Hal yang sama akan terjadi pada manusia, hanya saja masa kritisnya lebih lama, kurang lebih enam bulan. Seandainya pada masa kritis tersebut, mata anak kecil ditutup selama beberapa minggu saja, akan terjadi penurunan kemampuan melihat pada mata tersebut.


Masa kritis untuk perkembangan emosi lebih lama dibandingkan wilayah indranya. Bagian otak tempat pengendalian diri, pemahaman dan respon yang bijaksana terus tumbuh sampai akhir masa pubertas, kurang lebih usia enam belas sampai delapan belas tahun. Kebiasaan mengelola emosi yang berulang-ulang pada masa ini akan memperkuat sambungan syaraf di otak sehingga sinyal yang diterima semakin banyak. Sambungan yang kuat ini akan menjadi permanen ketika anak menjadi dewasa nanti.


Orang tua hendaknya memperhatikan masa kritis ini. Kesalahan memberikan perlakuan kepada anak akan membentuk sikap emosi yang salah pada anak ketika dewasa. Tiga perlakuan pada anak yang umunya tidak efisien dan mengganggu perkembangan emosi anak adalah :


Mengabaikan perasaan anak. Menganggap emosi anak sebagai hal yang kecil atau gangguan. Respon yang diberikan kepada anak biasanya berupa bentakan, lebih parahnya menjurus kekerasan fisik. Orang tua dengan gaya seperti ini gagal memanfaatkan momentum emosi anak sebagai peluang membangun hubungan yang dekat dengan anak dan melewatkan kesempatan untuk memberikan pelajaran bagi anak trampil secara emosional.


Tawar-menawar yang cenderung menyuap. Orang tua ini sudah peka pada emosi anak, tetapi penyelesaian dilakukan dengan tawar-menawar yang cenderung menyuap. Misalnya, anak menangis ingin ikut ayahnya bekerja, ibunya mengiming-iming memberikan sesuatu dengan catatan harus berhenti menangis, tanpa ada penjelasan mengapa anak tidak boleh ikut ayahnya bekerja.


Mencela dan menghina. Orang tua semacam ini tidak menghargai perasaan anak. Setiap emosi anak ditanggapi dengan cacian, celaan dan kecaman. Kata-kata "bandel", "bodoh", "tak tahu aturan", sering terlontar pada anaknya.
Memang otak manusia terus berkembang selama hidupnya, tetapi akan lebih sulit memberikan pelajaran yang bersifat korektif pada anak ketika mereka sudah dewasa. Anak yang sudah trauma sulit sekali dikembalikan pada kondisi normal . Jadi orang tua harus berhati-hati memberikan pengalaman pada anak di masa kritisnya. Pengalaman yang diterima anak sangat berpengaruh pada masa depannya nanti.

Sunday, February 10, 2008

SENYUM 2, JAKARTA DAN BANDUNG

~berapa lamakah
kau akan tetap
menggelepar menggantung
di sayap orang
kembangkan sayapmu sendiri,dan
terbanglah lepas
seraya menghidup udara bebas
di taman luas~

Dr. Sir M. Iqbal
Akhirnya musim senyum tiba...

Persangkaanku benar.
Dan, Tuhan menjawab doa seorang manusia dengan caraNya sendiri.
Suatu ketika, dengan wajah penuh tunduk, dengan hati penuh harap,
dengan mulut mengalun lirih saya menebar kata ke langit tinggi
“Ya Allah, berikan pekerjaan yang halal dan layak untukku”.
Hari berganti, minggu berubah, bulan berlalu, akhirnya permintaan itu
tergenggam sudah.

Tentu ada sejumput rasa syukur, terimakasih tak terhingga yang diam-diam
terhaturkan karena saya tak lagi menganggur. Sudah mulai menjalani rutinitas
layaknya orang Jawa yang merantau ke Jakarta,
bekerja untuk mengatasi problem-problem eksistensial manusia kebanyakan.

Kota ini awalnya kubenci.. Sebuah kota yang jauh dari wajah kemanusiaan,
kota yang keras, memperlihatkan kekejaman yang tanpa disadari bisa datang tiba-tiba.
Belum lagi, kemacetan, banjir, bising kendaraan, serta polusi udara yang menyesakkan dada
menjadi pemandangan keseharian.
Semuanya itu menjadi alasan mengapa saya malas datang kesini.
Jujur, dulu tak mau rasanya hidup dan bekerja disini.
Tapi begitulah, kadang hidup memang melenceng
dari hal-hal yang kita pikirkan sebelumnya.
Kali ini, saya mesti berdamai dengan keadaan.
Tepatnya, mencoba dan belajar untuk mengakrabi dunia dan suasana yang berbeda
dari sebelumnya.
Seorang kawan, pernah meledek
“Awas jangan sampai kau menjadi drakula di Jakarta”.
Aha..semoga saja tidak. Memang,
diakui atau tidak di Jakarta banyak drakula yang masih berwujud manusia hidup.
Ia menghisap sesama, membuang ke tong sampah naluri kemanusiaan.
Yang ada hanyalah bagaimana bisa menghisap keuntungan sepuas mungkin,
sebanyak mungkin.

Rasa welas kasih, saling tolong menolong, saling membantu, p
eduli terhadap sesama, tak ada dalam kamus. Wujud nyatanya,
misalnya majikan yang menyuruh kerja pembantu full time (24 jam) tanpa istirahat
yang cukup, bos yang semena-mena tarhadap karyawan,
atau seorang kawan yang mengkhianati, menelikung kawan sendiri dan masih banyak lagi. Naluri buruk semacam itu semoga tidak datang, tidak menghinggapi diri ini.

Kini, saya sedang menikmati musim senyum itu. Mulai dari bangun dan mencium bau pagi,
bergegas menuju kantor jangan sampai lewat pukul 09.00 lalu berkutat dengan file-file pekerjaan,
kemudian menyapa klien di beberapa institusi pendidikan. Selain pekerjaan pokok, beruntung saya masih punya waktu sisa untuk membaca novel-novel bagus,
mengikuti gathering para pecinta sastra dan tentunya menulis sajak-sajak senja.
Sampai selepas ashar, saya sudah bisa pulang ke rumah.
Saya mencoba menikmati gaya hidup baru ini.
Siapa tahu Jakarta kota peruntungan saya. Seperti yang sering terjadi,
yang sering kita benci, ada kalanya malah datang menyapa dan diam-diam mendatangkan cinta.
Saya harap begitu, siapa tahu di Jakarta ini saya bisa membuka mata tentang sosok yang sekian lama terindukan. Siapa tahu, disinilah saya bisa kembali merampungkan kuliah
yang sebelumnya sempat tertatih-tatih, siapa tahu,
di kota inilah keadaan dan nasib bisa berubah. Siapa tahu...siapa tahu...


Ini adalah penggalan tulisan dari blog penakayu, sengaja saya ambil untuk
mengenang saja kesamaan antara saya dengannya. Saya sebetulnya sudah enggan beranjak
dari kota kelahiran saya ini BANDUNG tercinta dan tidak tega meninggalkan orang tua juga suami tercinta
tapi tampaknya Jakarta juga menanti saya. Agar saya bisa memberikan kebahagian (memberikan kesempatan berhaji) dan ikut membantu mewujudkan tempat praktik sendiri untuk suami tercinta. Dan pada akhirnya kembali ke Bandung tercinta! JAKARTA ATAU BANDUNG TETAP TERSENYUM BAHAGIA

Friday, February 08, 2008

PERBURUAN SENJA DI SANFRANSISCO


Setelah membaca buku Pengantar Ilmu Komunikasi yang di tulis Prof. Dedi Mulyan, dan didalam buku itu bapak menyatakan "karya yang paling unik dan istimewa bagi saya adalah SENJA DI SANFRANSISCO -SDF", saya penasaran dan tergelitik untuk segera mencari buku tersebut.

Namun malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih, buku SDF sudah jarang beredar. Awalnya saya mencari di TB G cabang Merdeka Bandung namun kosong. Saya berniat mencari dicabang lain. Tapi sebelum berbalik saya sempatkan bertanya dulu kira-kira TB G cabang mana yang masih memiliki stok, pada Mbak Eka di pusat informasi TB G

Menurut perempuan cantik dengan cepol dirambutnya, “Di semua TB G Bandung kosong, Mbak, mohon maaf karena terakhir kali penerbitnya menitipkan pada kami tahun 2004 Mbak."

“Harganya berapa Mbak?” Tanya saya lagi.

“Enam belas ribu”

“Baik, terimaksih Mbak”, sahut saya kemudian berlalu. Semakin penasaran saja saya dengan buku itu seperti apa rupanya, moso’ di toko sebesar ini tidak ada.

Bursa Buku Palasari

Tidak putus asa saya coba mencari di Bursa Buku Palasari Bandung,esok harinya. Pagi-pagi saya sudah nongkrong disana pukul 8 pagi belum ada pemilik kios yang berniat untuk membuka kios buku bahkan muncul saja, belum.

Rupanya bukan saya sendirian yang datang kepagian, seorang penjual jamu gendong bernasib sama dengan saya menikmati kelengangan dengan aroma pagi yang khas dan udara sejuk pagi yang segar. Untuk menghangatkan badan tidak ada salahnya saya pesan segelas jamu. Rupanya benar jamu dengan wedang jahe itu membuat darah kembali hangat.

“Cari buku ya Mbak” Tanya penjual jamu itu. Saya jadi teringat perkuliahan Multicultural Culture Prof. Deddy yang bilang kalau orang Indonesia itu senang berbasa-basi agar terlihat ramah. Saya jadi senyum sendiri.

Berhubung saya pun orang Indonesia pun ingin terlihat ramah. Saya jawab “Iya Mbak, belum pada buka ya, sepertinya kita datang kepagian” sahut saya.

“Iya” sahutnya Huahahahahaha…….. betuk-betul basa-basi yang kelewat ramah. Tapi saya menikmatinya toh tidak mungkin juga saya curhat padanya tentang buku SDF yang saya buru atau Eleven Minutes – Paulo Coelho yang cepat sekali habisnya dipasaran.

“Hmmmm… enak sekali jamunya Mbak” sahut saya sambil menyerahkan gelas yang sudah kosong padanya. Namun kali ini dia tidak menganggap basa-basi, dengan penuh semangat dia menawarkan jamunya lagi “Tambah ya Mbak….” Untuk kedua kalinya saya tersenyum dalam hati (giliran jualan aja gak ada basa-basi).

“Cukup Mbak” sambil memberikan uang dan bertransaksi kamipun berpisah dengan berlawanan arah. Ada satu kios mulai membuka kios. Dilihat dari wajahnya dan nama kiosnya (Densiko),tampak bahwa sang pemilik kios adalah orang dari suku Padang. Saya menghampirinya mencoba mencari-cari siapa tahu terselip sebuah buku berjudul DSF.

Melihat saya, lelaki itu menyapa saya “Cari buku apa Teh?” dengan logat padang. Kali ini saya kembali menemukan perbedaan dalam Multicultural Culture. Jika saya ingat – ingat penjual jamu tadi, yang saya taksir berasal dari jawa. Menyapa saya dengan panggilan “Mbak” dan yang ini pemuda Sumatra Barat memanggil saya “Teh”. Apakah boleh kalau saya menyimpulkan orang Padang lebih menyesuaikan diri ketika Ia berada di negeri orang dan Wong Jowo lebih mempertahankan tradisinya? Entahlah, mungkin saat perkuliahan saya akan menanyakannya pada Prof. Deddy.

“Cari buku DSF, ado Da?” Tanya saya.
Dia tampak lebih antusias, “Urang awak, Ma?” segera saja Ia mengganti logat dan bahasanya.
Saya hanya tersenyum, dan bersyukur telah mendapatkan perkuliahan MKDU Bahasa Minang di Fakultas Sastra dulu, secara hampir separuh pedagang di Indonesia ini adalah orang minang. Kalau bisa menawar dengan Bahasa Minang, tentu dengan mudah kita mendapatkan harga murah.

Kali ini saya jadi teringat teori komunikasi Process View yang dikemukakan oleh Steve Duck (1985) menganggap bahwa kualitas dan sifat hubungan dapat diperkirakan hanya dengan mengetahui atribut masing-masing sebagai individu dan kombinasi antara atribut-atribut tadi.
Meskipun mengetahui atribut-atribut tersebut hanyalah salah satu aspek yang memengaruhi hubungan. Untuk mengenali tahap (kualitas) hubungan yang terjadi kita dapat melihatnya dari bagaimana masing-masing menanggapi mereka.

“Buku nan lain?” tanyanya lagi.
“Indak Da Terima Kasih Da” Saya menggeleng dan permisi, karena bingung kalo nanti Si Uda bertanya lagi saya harus menjawab apa, kembali ke teori Duck (Meskipun mengetahui atribut-atribut tersebut hanyalah salah satu aspek yang memengaruhi hubungan. Untuk mengenali tahap (kualitas) hubungan yang terjadi kita dapat melihatnya dari bagaimana masing-masing menanggapi mereka. Baca : Si Uda J)

Hari menunjukkan pukul setengah sembilan, beberapa toko mulai bersih-bersih. Saya menunggu kios AMPERA buka. kios Pak Sasmita. Hemat saya disana paling komplit tapi ketika saya lihat jam pukul sembilan masih saja beliau belum membuka kiosnya.

Saya jadi ingat lelaki yang hampir menginjak setengah abad itu pernah bilang, sewaktu saya masih kuliah S1 dan katanya: “Sebelum buka kios, biasanya saya sama isteri aerobik dulu Neng” mungkinkah saat ini pak Sasmita aerobik dulu. Akhirnya saya putuskan untuk mencari ditempat lain.

TB TGM

Usaha terakhir saya mencari di TB TGM, ketemu tapi tinggal satu saja dengan kondisi yang sangat lecek. "Ini ada Mbak", tinggal satu kata penjaga toko buku. Syukurlah masih rejeki saya dengan semangat saya menuju kasir. Tiba dikasir, penjaga kasir bilang " harganya gak segini Mbak, dikomputer lain soalnya" pikir saya loh kok bisa bukannya sudah jelas tertera dilabelnya Rp 22.500 plus diskon 15 % jadi Rp. 19.125.
Harganya dua puluh lima ribuan, katanya lagi mungkin karena komunikasi visual saya ingin sekali buku itu jadilah buku itu dinaikkan. Awalnya saya protes, karena buku itu sudah kotor, layaknya buku bekas tapi akhirnya saya setujui saja untuk mengakhiri perburuan buku kali ini.

Thursday, February 07, 2008

SENYUM = MAAF YA SAYA TERLAMBAT…..


Pada suatu hari seorang dosen memerintahkan mahasiswanya untuk menulikan berbagai teori tentang komunikasi. Teori apapun bebas yang penting jumlahnya adalah lima teori induk dan lima teori tambahan berarti jumlahnya ada lima. Mungkin karena hari kamis libur, disusul Jum’at , Sabtu, serta Minggu. Tidak hanya seorang saja dosen yang memberikan tugas.

Setiap mengakhiri pembicaraan semua dosen akan menulis dipapan tulis kata TUGAS ! buatlah esay tentang bla…bla….., buat laporan tentang bla….bla…., seperti enggan mahasiswa pun mencatat apa yang dosennya kehendaki meski dengan “nggerundel” toh mereka berusaha untuk mengerjakannya. Mengapa harus tugas terus sih, salah satu mahasiswa berkomentar meski hanya berbisik.

Tibalah jam terakhir perkuliahan. Hmmmmm… akhirnya beres juga kuliah kita. “Eh pada dateng ya malem ini ke rumah gue ulang taun nih”. Antusias seorang mahasiswi menimpali “Oh, ulang taun nyak, hayu atuh, gue ikut”

***
Minggu depannya,

Ruang kelas kosong. Seorang professor datang untuk mengajar dengan semangat empat lima tiba-tiba saja jadi hampa. “Pada kemana nih, sudah pukul delapan kan ?” tanyanya pada seorang mahasiswi yang kebetulan datang paling pertama.

“Belum Prof. Masih pukul delapan kurang lima” jawab mahasiswi itu lagi.”Ya bagaimana ya mahasiswa ini, saya sengaja datang dari rumah pukul tujuh pagi” sambil mengeluarkan laptop sang dosen mencari bahan kuliah yang akan dipresentasikannya.

Lima belas menit berlalu, satu persatu mahasiswa datang mengetuk pintu tanpa mengucapkan kata maaf para mahasiswa itu melemparkan senyum dan berlalu menuju tempat duduk favoritnya masing-masing. Profesor menganggukan saja ketika senyuman terlempar padanya seolah itu hal yang bisa atau berusaha dia maklumi. Tidak hanya hari ini. kemarin –kemarin lusa, masih saja tidak berubah meski seringkali Ia bilang keberatan jika ada mahasiswa yang datang terlambat.

***

Di ujung kelas.

“Lo udah bikin tugas? “
“Gue belom euy”
“Sama, tadi malem ulang tahunnya si E sampe jam sebelas”