Monday, February 11, 2008

Emotional Touch Pada Anak Membantuku



Akhirnya keputusan itu bulat!

Setelah menimbang-nimbang, menghitung untung dan ruginya.

Bulat sudah keputusan saya untuk tetap stay di Bandung saja.

Meninggalkan Bandung untuk ikut suami tercinta cukup memberikan pelajaran betapa

Bandung adalah kota ternikmat untuk bermukim.


Alhamdulillah, apa yang menjadi cita-cita saya terkabul.

Kemarin seorang Psikolog ternama dikota ini menghubungi saya untuk bergabung bersamanya

memberikan terapi untuk anak berkebutuhan khusus.


Menurutnya ada beberapa kandidat yang dia perhitungkan dan salah satunya saya.

Menurut dua orang psikolog lainnya, saya mempunyai sense of touch dengan anak meskipun saya belum memiliki

anak.


Emotional Touch


Torsten Nils Wiesel dan David Hunter Hubel, peraih hadiah nobel untuk psikologi medis, membuktikannya. Kedua ilmuan ini melakukan percobaan pada hewan, kucing dan kera. Terdapat masa kritis perkembangan otak pada kedua hewan tersebut yang lamanya beberapa bulan sejak dilahirkan, otak menerima sinyal-sinyal yang dikirimkan oleh indranya. Selama masa kritis ini, salah satu mata ditutup sehingga jumlah sinyal yang dikirimkan ke otak berkurang, sedangkan sinyal dari mata yang terbuka tidak mengalami perubahan.


Setelah masa kritis berakhir, penutup mata di buka kembali. Apa yang terjadi ? Mata yang ditutup mengalami kebutaan secara fungsional, tidak ada cacat pada mata itu, hanya sambungan saraf ke otak yang mengalami penyusutan sehingga terlalu sedikit sinyal yang diterima otak.


Hal yang sama akan terjadi pada manusia, hanya saja masa kritisnya lebih lama, kurang lebih enam bulan. Seandainya pada masa kritis tersebut, mata anak kecil ditutup selama beberapa minggu saja, akan terjadi penurunan kemampuan melihat pada mata tersebut.


Masa kritis untuk perkembangan emosi lebih lama dibandingkan wilayah indranya. Bagian otak tempat pengendalian diri, pemahaman dan respon yang bijaksana terus tumbuh sampai akhir masa pubertas, kurang lebih usia enam belas sampai delapan belas tahun. Kebiasaan mengelola emosi yang berulang-ulang pada masa ini akan memperkuat sambungan syaraf di otak sehingga sinyal yang diterima semakin banyak. Sambungan yang kuat ini akan menjadi permanen ketika anak menjadi dewasa nanti.


Orang tua hendaknya memperhatikan masa kritis ini. Kesalahan memberikan perlakuan kepada anak akan membentuk sikap emosi yang salah pada anak ketika dewasa. Tiga perlakuan pada anak yang umunya tidak efisien dan mengganggu perkembangan emosi anak adalah :


Mengabaikan perasaan anak. Menganggap emosi anak sebagai hal yang kecil atau gangguan. Respon yang diberikan kepada anak biasanya berupa bentakan, lebih parahnya menjurus kekerasan fisik. Orang tua dengan gaya seperti ini gagal memanfaatkan momentum emosi anak sebagai peluang membangun hubungan yang dekat dengan anak dan melewatkan kesempatan untuk memberikan pelajaran bagi anak trampil secara emosional.


Tawar-menawar yang cenderung menyuap. Orang tua ini sudah peka pada emosi anak, tetapi penyelesaian dilakukan dengan tawar-menawar yang cenderung menyuap. Misalnya, anak menangis ingin ikut ayahnya bekerja, ibunya mengiming-iming memberikan sesuatu dengan catatan harus berhenti menangis, tanpa ada penjelasan mengapa anak tidak boleh ikut ayahnya bekerja.


Mencela dan menghina. Orang tua semacam ini tidak menghargai perasaan anak. Setiap emosi anak ditanggapi dengan cacian, celaan dan kecaman. Kata-kata "bandel", "bodoh", "tak tahu aturan", sering terlontar pada anaknya.
Memang otak manusia terus berkembang selama hidupnya, tetapi akan lebih sulit memberikan pelajaran yang bersifat korektif pada anak ketika mereka sudah dewasa. Anak yang sudah trauma sulit sekali dikembalikan pada kondisi normal . Jadi orang tua harus berhati-hati memberikan pengalaman pada anak di masa kritisnya. Pengalaman yang diterima anak sangat berpengaruh pada masa depannya nanti.

No comments: