Thursday, September 22, 2005

BAHASA SUNDA LESTARI DI NEGERI ANOA

Berdasarkan sensus penduduk, masyarakat Sulawesi Tenggara berjumlah 2.251.135 juta jiwa dengan berbagai pekerjaan seperti petani, nelayan, maupun pedagang. Sebagai Wilayah Provinsi, Sulawesi Tenggara memiliki fasilitas yang dapat diakses oleh transportasi dari dalam maupun luar negeri berupa pelabuhan Kendari yang merupakan Pelabuhan nasional Internasional, juga transportasi darat, laut, maupun udara.

Pembangunan di Sulawesi Tenggara, terbilang cukup pesat daerah yang luasnya 148.140 km2 dengan luas daratan 38.140 km2 dan luas lautan 110.000 km2. Dari keseluruhan penataan kota, tiba-tiba saya tertarik dengan salah satu daerah disini. Di sebuah desa yang terletak disebelah utara Pulau Sulawesi Tenggara ini, berbeda dengan daerah di Sulawesi Tenggara lainnya, di kecamatan Ranomeeto kelurahan Ranumeeto ini bermukim sekitar 350 kepala keluarga. Yang hampir keseluruhannya berbahasa Sunda.

Sebagai Urang Sunda, tentu saja saya langsung tertarik dan bersemangat untuk mengetahui lebih jauh tentang tempat yang konon bernama Sindang Kasih. Hari minggu pagi saya langsung saja bersiap-siap menuju perkampungan tersebut, dengan mengendarai motor segera saya melaju kesana bersama suami.

Diperjalanan saya berpikir bagaimana mungkin orang Sunda bisa meninggalkan tempat tinggalnya sebegini jauhnya. Seperti halnya saya yang mau tidak mau harus mengikuti suami yang bertugas di pulau Selebes ini. “asa araraneh” sekaligus senang diperantauan menemukan teman senasib sepenanggungan walaupun saya belum mengenal mereka sama sekali. Namun, serasa memiliki saudara saja di Kendari.

Tiga puluh menit dari kota Kendari kami memasuki pintu gerbang perbatasan desa Ranumeeto dengan desa Sindangkasih rasanya saya sudah mengenal daerah ini sebelumnya. Rasanya sangat akrab dan familiar. Karena tempat Ini bernuansa seperti ketasik-tasikan, keciamis-ciamisan, atau kesumedang-sumedangan. Pohon-pohonnya rindang ada titik embun yang menempel di dedaunannya. Pagi yang indah nian, di Kendari.












Pintu Gerbang menuju Desa Sindangkasih



Suasananya semakin terasa ketika kicauan burung menyambut kedatangan kami, memasuki desa Sindangkasih, pandangan kami langsung tertumbuk pada sebuah bangunan Sekolah Dasar. Kemudian kami semakin masuk ke dalam Desa, rimbunnya pohon, menebarkan harum, layaknya hutan Jati. Udara segar dan sejuk rasanya mengusir kepenatan perjalanan menuju ke sini. Kemudian, kami menemukan sebuah kandang. Kandng sapi yang jarang kami temukan di kampung-kampung milik penduduk pribumi.

Pengalaman mengenai sapi yang ”diabur” ini, membuat saya tersenyum geli, sendiri. Ketika mengingat suami saya yang bertugas menjadi dokter gigi di daerah yang bernama Labibia, Beliau terpental jatuh dari motornya ketika sedang asik-asiknya mengendarai motor. Sang Sapi melenggang tanpa lihat ke kiri dan ke kanan dengan santainya menyebrang. Karena itu kami tersenyum-senyum sendiri melihat kandang sapi itu.




Dibangunan yang berasal dari gedung
LMKD inilah murid-murid
desa Sindang Kasih belajar.


Perkampungan ini mungkin paling rapi dan teratur, dibandingkan dengan perkampungan-perkampungan lainnya. Mungkin sama halnya dengan perkampungan masyarakat Bali yaitu Perkampungan Jati Bali, yang terletak didekatnya. Penataannya sangat khas, yang pasti terdapat persawahannya.












Areal persawahan cukup luas disini

Sebelum seluruh isi perkampungan, kami memutuskan untuk menemui kepala desanya terlebih dahulu. Dari sebuah warung kami mendapatkan informasi Kepala Desa Kampung Sindangkasih itu, bernama Bapak Kardiman. Dengan senang hati mereka menunjukkan arah nya. Ciri khas urang Sunda yang selalu ramah, terlihat juga disini. Dari Ni Nonah Perempuan berumur delapan puluh tahunan ini lah kami menemukan sebuah rumah milik Bapak Kardiman dengan tanaman cokelat dihalamannya. Pria yang sudah dua tahun menjabat sebagai Kepala Desa ini menerangkan bahawa dulunya, tahun 1968 jumlah penduduk Sindang kasih masih sekitar lima puluh kepala keluarga, sedangkan saat ini sudah mencapai 350 kepala keluarga.





Ni Nonoh Bersama anak cucunya

Sebagai kepala kampung di Sindangkasih, Ia mengaku senang bisa memimpin warganya yang tenang dan damai dengan sistem kekeluargaan dan gotong royong. Dengan logat Sundanya yang kental pria yang lahir di Desa Sindangkasih, tiga puluh tujuh tahun yang lalu ini mengungkapkan alasannya berada di Sindangkasih adalah karena orang tuanya merantau sehinggga mau tidak mau Ia ikut ke Sulawesi.

Ketika saya bertanya,” Mengapa Bapak Kardiman mahir sekali berbahasa Sunda padahal ke daerah priangan saja belum pernah karena Bapak lahir disini?”

Beliau menjawab, “ Anak-anak di Sindangkasih rata-rata menguasai Bahasa Sunda, karena orang tua mereka secara turun menurun menggunakan Bahasa Sunda, Meskipun di sekolah mereka tidak diberikan mata pelajaran Bahasa Sunda, melainkan Bahasa Tolaki. Adat budaya pun yang dipergunakan dipergunakan adalah adat dan budaya Sunda. Biasanya orang Sindangkasih menikah dengan orang Sindangkasih lagi. Meskipun ada juga yang menikah dengan orang Bali dari Kompleks Kampung Jati Bali.

Lanjutnya lagi, “Seperti nama daerah ini pun dinamai Sindangkasih, berawal dari para pendahulu kami yang menamai daerah kompleks orang Sunda ini dengan nama Sindangkasih artinya cinta / sayang. Memang nama-nama di propinsi Sulawesi Tenggara itu kebanyakan berbau Jepang. Ranomeeto, Boro-boro, Kolaka, Pomalaa, dll, karena konon katanya leluhur penduduk asli orang Tolaki adalah orang Jepang”

Yang melatarbelakangi mereka bertransmigrasi ke daerah ini adalah pemerintah mempercayakan sawah, tanah, kebun dan ladang untuk diurus. Tak ayal lagi memasuki daerah bernama Sindangkasih ini, kita seperti memasuki Ciawi di Tasikmalaya. Sawah menghampar hijau, sebagian besar dari mereka adalah masyarakat yang bertransmigrasi dari daerah Sumedang, Garut, Cirebon, dan Ciamis. Kebanyakan mereka berprofesi sebagai petani. Namun ada juga yang berprofesi sebagai juragan angkot, Karyawan Bank, Pegawai Negeri Sipil dll. Meskipun jumlah Sarjana dari Kompleks Sindangkasih masih sembilan orang. Namun, kami berharap masyarakat kami sadar akan arti penting pendidikan.



Angkot bertuliskan “PUTRA SUMEDANG”
Yang dipergunakan sebagai alat transportasi
Masyarakat Sindang Kasih

Harapan ayah empat orang anak ini lagi, Ia ingin fasilitas pendidikan diperbaharui lagi. Keinginannya juga, bisa membawa keluarganya melihat kota Bandung. Ia pernah satu kali ke tanah leluhurnya dan melihat gedung sate karena diundang oleh Bapak Walikota Bandung, dan berharap bisa membawa keluarganya serta. “Orang Subda mana sih yang berani merantau jauh dari tanah kelahirannya?”
Anggapan ini agaknya tidak berlaku lagi saat ini.

No comments: