Thursday, January 22, 2009

Doktor Linguistik



DUA perempuan berturutan menyampaikan pidato pengukuhan guru besar tetap mereka hari Sabtu (28/1) di kampus Universitas Indonesia di Depok. Yang pertama Rahayu Surtiati Hidayat dan yang berikutnya Melani Budianta.
Keduanya, menurut catatan Rektor Universitas Indonesia (UI), adalah guru besar ketiga dan keempat dan perempuan guru besar pertama dan kedua yang dikukuhkan tahun ini. Keduanya akan menambah jumlah 11 guru besar tetap, dua guru besar luar biasa, dan enam guru besar emeritus Fakultas Ilmu Budaya (FIB) tempat keduanya mengabdi selama ini.
Pengukuhan ini jelas dibutuhkan FIB. Apalagi bidang linguistik terapan yang menjadi keahlian Rahayu Surtiati Hidayat. Dia mengaku sempat kesepian selama 10 tahun sebagai ilmuwan pengajar karena hanya sendirian mendalami bidang itu.
Meskipun demikian, menurut Rahayu, yang akrab dipanggil Yayuk di antara teman dan muridnya, guru besar bukan sesuatu yang dia kejar. "Saya tidak mengejar apa pun. Saya melakukan semua ini karena saya suka. Saya suka menulis, suka menerjemahkan, suka mengajar," kata Rahayu yang menyajikan pidato pengukuhan Humaniora dalam Pengembangan Pendidikan Tinggi. Linguistik Terapan Sebagai Bidang Pendidikan dan Penelitian.
Sendirian
Dalam bahasa yang disederhanakan, Rahayu mengatakan linguistik terapan adalah pengajaran bahasa yang disistematisir. Bidang ini masuk di dalam ilmu humaniora dan lintas batas ilmu karena mendapat banyak sumbangan dari ilmu lain seperti sosiologi, psikologi, antropologi, dan teori informasi.
"Antara tahun 1989, setelah menjadi doktor, sampai tahun 2000 saya sendirian menekuni linguistik terapan. Teman-teman tidak ada yang tertarik," papar Rahayu.
Saat itu masih kuat anggapan di kalangan pengajar bahasa, bila seseorang dapat berbahasa, dia dapat mengajar bahasa. Baru sesudah tahun 2000 Yayuk mendapat mitra setelah sejumlah pengajar FIB kembali dari luar negeri dengan ijazah doktor atau magister dalam linguistik terapan.
?Belakangan FIB lebih profesional. Mengajar bahasa ada landasan teori dan jelas metodenya,? papar Wakil Dekan Bidang Akademik FIB UI sejak tahun 2004 yang selama berkarier di UI terus diminta mengembangkan bidang linguistik terapan.
Di luar universitas, linguistik terapan perlu dikembangkan di tataran nasional sebab pengajaran bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa Inggris, serta bahasa asing lain di sekolah dasar dan menengah ditentukan oleh politik bahasa yang diterapkan secara nasional dalam pendidikan.
Tidak suka matematika
Awal ketertarikan Rahayu pada bahasa sudah muncul sejak duduk di kelas III sekolah menengah pertama. "Karena saya tidak tertarik pada matematika," papar ibu dari Aria Perbacana (28) dan Rara Tanjung (24) serta istri dari Hidayat Sutarnadi itu.
Yayuk menyukai arkeologi, tetapi ibunya tidak setuju dia memilih bidang itu. ?Ibu beranggapan bidang itu akan membawa saya ke mana-mana dan dapat membahayakan saya,? tutur Rahayu yang menyelesaikan S1-nya dari Fakultas Sastra UI (1971), S2-nya di Universite de Besancon, Perancis (1972), dan S3-nya dari Program Pascasarjana UI (1989).
Meski begitu, Rahayu merasa ayahnya yang polisi dan ibunya yang aktif di Bhayangkari tidak pernah membedakan pendidikan anak perempuan dari anak lelakinya. Tidak heran jika dia menguasai permainan kelereng dan katapel. Bahkan ibunya menyebut dia setengah laki-laki. "Saya sendiri tidak sadar, sampai ketika mengemukakan masalah dan ide-ide, ibu bilang cara berpikir saya seperti anak laki-laki," kata perempuan kelahiran Gading Rejo, Lampung, 26 September 1946.
Di Fakultas Sastra ternyata Rahayu tetap mencintai kegiatan luar ruang dan ikut mendirikan organisasi pencinta alam UI, Mapala. "Waktu Hok Gie meninggal, saya adalah Ketua Mapala UI," kenang Yayuk yang menjadi Ketua Mapala UI pada tahun 1964 dan 1968.
Mungkin itu juga yang membuat penampilannya easy going: membawa tas ransel, kerap bercelana panjang, kadang pakai sepatu bot, tidak dandan. Meskipun begitu, sebagai pengajar dan penerjemah dia terkenal amat ketat dalam logika berbahasa yang adalah bidangnya.
Naskah akademisnya bertebaran di berbagai seminar dan buku, selain juga menerjemahkan 40-an buku asing, antara lain Seks dan Kekuasaan karya Michel Foucault (1997), Kalau Perempuan Angkat Bicara (Annie Leclerc, 1999), dan Aku, Kamu, Kita: Belajar Berbeda (Luce Irigaray, 2004).
Karena suka pada hal yang konkret, Yayuk akan terus ditantang mengarahkan agar departemen linguistik di FIB meneliti untuk mendapat perancangan dan terobosan baru dalam pengajaran bahasa.
Dengan demikian, seorang sarjana tidak hanya pandai membuat tulisan akademik, tetapi juga dapat menyajikan pemikirannya dengan menarik dan benar dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing, dalam hal ini bahasa Inggris.
Biodata
Nama: Prof Rahayu Surtiati HidayatLahir: Gading Rejo, Lampung, 26 September 1946Suami: Hidayat SutarnadiAnak:- Aria Perbacana (28)- Rara Tanjung (24)
Pendidikan:- S1 dari Fakultas Sastra UI (1971)- S2 dari Universite de Besancon, Perancis (1972)- S3 dari Program Pascasarjana UI (1989).
Pekerjaan:- Guru Besar (Profesor) Tetap Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (2006)- Wakil Dekan Bidang Akademik FIB UI sejak tahun 2004
Sumber: Kompas, 5 Februari 2006

Sunday, January 04, 2009

Mengarahkan Anak meraih cita cita

Peran Guru Mengarahkan Cita-Cita Anak Sejak Dini


Tiiiit tiiiit gujes-gujes, Tiiiit tiiiit gujes-gujes, wakwaw…., wajahnya orientalnya tertawa ramah, mendengar kata wakwaw yang saya ucapkan. “Ah ibu masa kereta api bunyinya wakwaw sih?” Hehehehe saya tersenyum saja mendengar pertanyaan polosnya. Namun, saya tertarik menanyakan mengapa dia senang sekali bermain kereta api-kereta apian dibandingkan puluhan mainan lainnya yang tersedia di tempat terapi ini.Dia menjawab, dia ingin seperti ayahnya, bekerja di kereta api. Pengalaman menyenangkan saat dia melihat ayahnya bertugas membuatnya sangat terkesan dan ingin bekerja di kereta.
Cita-cita seseorang sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Lingkungan terdekatnya, seperti apa yang dikerjakan orang tua, ayah atau ibunya, sangat mempengaruhi pilihan cita-cita mereka. Yang ayahnya dokter akan cenderung memilih dokter sebagai cita-cita, begitu pula yang ayahnya polisi nanti kalau sudah besar ingin jadi polisi. Lingkungan terdekat kedua adalah sekolahan. Setelah anak mulai masuk sekolah, hampir sepertiga waktunya dihabiskan di sekolah. Tambahan pengetahuan dari guru tentang berbagi-bagai jenis profesi akan membentuk idealisme cita-cita anak-anak.
Guru memiliki peranan yang penting dalam hal ini, Hubungan guru dengan murid dinyatakn seperti orangtua dan anak. Orangtua menjadi pembimbing anaknya supaya, perkembangan anak dapat berlangsung sebaik-baiknya tanpa ada hambatan atau gangguan. Guru berada dalam lingkungan yang dekat dengan anak, dengan demikian cukup besar pengaruhnya dan pembentukan pribadi dan cita-cita anak. Ada terapi yang efektif yang bisa dilakukan disekolah ‘’anak lahir kembali.’’ Anak akan diberikan pelatihan 3 hari 2 malam. Selama itu benar-benar tidak boleh dengan keluarga, mereka. Apa cita-citanya, apa yang diinginkan dengan mendapatkan solusinya.
Setelah pelatihan dia akan menjadi orang yang baru dengan cita-citanya sendiri. Ruang dan biaya anak bisa diarahkan dengan kerja sama berbagai pihak berbagai pihak, misalnya pelatihan dokter kecil, wartawan kecil, peneliti muda pemerintah pun bisa berperan aktif, khususnya untuk pendidikan luar sekolah.
Sebagai guru sekaligus orang tua sebaiknya kita tidak memilihkan cita-cita untuk anak-anak kita. Biarkan mereka menentukan cita-citanya sendiri. Yang lebih penting mempersiapkan anak-anak dengan memberi bekal nilai-nilai moral yang baik. Nilai-nilia seperti disiplin, kejujuran, amanah dan integritas perlu ditanamkan sejak dini. Pemilihan pendidikan anak-anak juga harus memperhatikan pembawaan, bakat dan karakteristik kejiwaan anak. Jangan terlalu memaksa anak-anak untuk jadi sarjana. Memang bangga punya anak-anak sarjana semua, tetapi apa gunanya punya anak-anak sarjana kalau nganggur semua. Biarkan mereka memilih pendidikan yang sesuai dengan bakatnya dan memudahkan mereka untuk mencapai cita-citanya.